Beranda | Artikel
Dua Hadits Pokok
Senin, 19 Januari 2015

niat kuat kita

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki peran yang sangat besar di dalam agama Islam. Di dalam hadits akan kita temukan penegasan-penegasan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Selain itu di dalamnya juga terdapat perincian dan penjelasan hal-hal yang bersifat global di dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Di dalam hadits juga bisa dijumpai keterangan-keterangan atau hukum tambahan yang merupakan pelengkap terhadap aturan-aturan Al-Qur’an. Pembagian ketiga macam kategori hadits ini dapat dijumpai dalam buku Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah karya Dr. Muhammad bin Husain Al-Jizani hafizhahullah (hal. 123)

Diantara hadits paling pokok yang disebutkan oleh para ulama di dalam kitab-kitab hadits adalah hadits Jibril; yaitu hadits yang diriwayatkan oleh ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu mengenai kisah kedatangan malaikat Jibril dalam rupa manusia dan menanyakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang islam, iman, dan ihsan. Karena begitu besar faidah dan pelajaran yang ada di dalamnya, Imam Muslim rahimahullah menempatkan hadits ini di bagian pertama di dalam Sahih Muslim, yaitu di dalam Kitabul Iman. Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah bahkan menyusun tulisan tentang kandungan hadits ini dalam buku beliau Syarah Hadits Jibril.

Ada lagi hadits lain yang dikatakan oleh para ulama sebagai salah satu hadits pokok di dalam Islam, yaitu hadits tentang nasihat yang diriwayatkan oleh Tamim Ad-Dari radhiyallahu’anhu dan dikeluakan oleh Imam Muslim dalam Sahih-nya. Di dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa hakikat agama ini adalah nasihat. Dan nasihat itu bermakna luas, mencakup tauhid kepada Allah, iman kepada kitab-Nya, taat kepada rasul-Nya, nasihat bagi pemimpin kaum muslimin dan bagi sesama rakyat. Hakikat daripada nasihat yang dimaksud di dalam hadits ini -sebagaimana diterangkan Syaikh Al-Fauzan hafizhahullah– ialah kesesuaian antara apa-apa yang ada pada lahiriyah dengan apa-apa yang ada di dalam batin.

Kemudian, apabila kita cermati kembali diantara sekian banyak hadits, terdapat dua buah hadits yang selalu dijadikan patokan dan pedoman dalam agama ini. Kedua hadits itu ialah hadits tentang niat yang diriwayatkan oleh ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu dan hadits tentang larangan berbuat bid’ah yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu’anha. Adapun hadits tentang niat ini, diantara ulama yang menempatkan hadits ini di bagian awal karyanya adalah Imam Bukhari rahimahullah dalam Sahih-nya. Hal itu mencerminkan pengagungan beliau terhadap kandungan hadits ini. Demikian juga para ulama yang lain, semacam Imam Abdul Ghani Al-Maqdisi rahimahullah dalam karyanya Umdatul Ahkam begitu pula Imam An-Nawawi rahimahullah dalam karyanya yang sangat terkenal yaitu Al-Arba’in An-Nawawiyah.

Hadits tentang niat itu bunyinya adalah sebagai berikut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal-amal itu dinilai dengan niatnya. Dan setiap orang akan dibalas sesuai dengan apa yang dia niatkan. Barangsiapa yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia yang ingin dia peroleh atau kepada wanita yang ingin dia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang dia niatkan untuk berhijrah itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits yang agung ini memberikan faidah bahwa amal hanya akan diterima di sisi Allah jika dilandasi dengan niat. Niat di sini memiliki dua pemaknaan. Pertama; niat dalam artian keikhlasan, yaitu beramal untuk Allah semata, bukan untuk mencari pujian, dsb. Kedua; niat dalam artian kejelasan maksud atau kehendak dari perbuatan yang dilakukan. Niat dalam makna kedua ini banyak dibahas dalam buku-buku fikih seperti niat sholat, dsb. Adapun niat dalam makna pertama banyak dikaji dalam buku tauhid dan tazkiyatun nafs/penyucian jiwa atau akhlak.

Adapun hadits tentang larangan bid’ah sebagai berikut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengada-adakan di dalam urusan -agama- kami ini sesuatu yang bukan berasal dari tuntunannya, maka ia pasti tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim). Kemudian, di dalam salah satu riwayat Muslim juga disebutkan dengan redaksi, “Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak ada dasarnya dari tuntunan/ajaran kami maka itu pasti tertolak.”

Hadits yang agung ini memberikan faidah bahwa amal-amal selain harus ikhlas maka ia juga harus sesuai dengan tuntunan. Amal yang tidak dituntunkan alias bid’ah tidak akan diterima di sisi Allah, sebagaimana halnya amal yang tidak ikhlas juga tidak akan bernilai di sisi-Nya. Oleh sebab itu para ulama menyebutkan bahwa suatu amal akan diterima jika memenuhi dua buah syarat; ikhlas dan mengikuti tuntunan. Ikhlas merupakan kandungan dari hadits ‘Umar tentang niat di atas, dan juga kandungan dari syahadat laa ilaha illallah, sementara mengikuti tuntunan adalah kandungan dari hadits ‘Aisyah tentang larangan bid’ah di atas dan juga kandungan dari syahadat bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah.

Makna kedua hadits di atas telah terangkum dalam firman Allah ta’ala (yang artinya), “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (Al-Kahfi : 110). Amal salih yaitu yang sesuai dengan tuntunan, sedangkan tidak berbuat syirik maksudnya amal itu ikhlas dan dilandasi akidah yang benar. Amal yang sesuai tuntunan namun tidak ikhlas tidak akan diterima, demikian pula amal yang ikhlas namun tidak sesuai tuntunan maka itu pun tidak akan diterima di sisi Allah. Di dalam ungkapan ‘tidak mempersekutukan dalam beribadah’ ini terkandung syarat keimanan; artinya amal itu hanya akan diterima jika dilandasi iman yang benar. Artinya amalan orang kafir tidak akan diterima, baik kafirnya karena murtad atau munafik atau kafir asli. Oleh sebab itu sebagian ulama menambahkan sehingga syarat diterimanya amal menjadi tiga; ikhlas, sesuai tuntunan, dan islam.

Karena begitu agungnya kedudukan kedua hadits di atas, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah pun meletakkan kedua hadits ini di awal buku beliau Bahjatul Qulub Al-Abrar yang memuat hadits-hadits pilihan dalam berbagai sisi ajaran Islam. Beliau mengatakan, “Kedua hadits yang agung ini telah mencakup seluruh bagian agama, baik pokok ataupun cabangnya, yang lahir maupun yang batin darinya. Hadits ‘Umar adalah timbangan amal batin sedangkan hadits ‘Aisyah adalah timbangan amal lahir.” (lihat Bahjatul Qulub Al-Abrar, hal. 14)

Intisari faidah yang dapat kita petik adalah bahwa Islam adalah agama yang memadukan antara niat dengan cara. Niat yang benar harus diwujudkan dengan cara yang benar pula. Islam tidak mengenal kaidah ‘tujuan menghalalkan segala cara’. Islam mengajarkan kepada kita untuk menjadi orang yang senantiasa berusaha meluruskan niat dan selalu berupaya memperbaiki cara/amalan yang kita lakukan. Bisa jadi amal kita selama ini kurang ikhlas, atau belum lurus niatnya, atau bisa jadi selama ini amal kita menyimpang dari tuntunan, atau kurang sesuai dengan ajaran.


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/dua-hadits-pokok/